Cerpen : Sosok di Malam Hari



Sosok di Malam Hari


                Kilat menyambar atap-atap ruko yang berjajar rapi. Petir membawa serta awan-awan hitam mendatangi wilayah ini sehingga menambah kegelapan dan kengerian malam. Hal ini tak dapat mengurungkan niat seorang anak laki-laki untuk melakukan aktivitas favoritnya, memandang suasana di bawah sana, di luar jendela, ke arah jalan yang sangat sepi (di pagi hari jalan ini ramai dipenuhi para pedagang yang sibuk membuka tokonya) dan tak ada satupun toko yang masih buka.
                Tak seperti biasanya, dimana hanya kesunyian yang dilihatnya, kini mata birunya tak berkedip menatap sesuatu yang meringkuk di teras toko kue yang tempatnya tak jauh di seberang jendela ini. Anak ini penasaran sekali dengan sosok yang dilihatnya. Bertubuh kecil, memakai gaun bermotif bunga merah muda dan ada bando pita yang bertengger dikepalanya. Tapi dia tak dapat melihat seperti apa wajahnya. Dia yakin sekali bahwa itu adalah seorang anak seperti dirinya melihat besar tubuhnya yang sepertinya tak jauh beda dengan miliknya. Tapi mengapa dia di teras toko sendirian saat hendak turun hujan seperti ini ?
                “Mom, ada anak diluar, sendirian” panggil anak laki-laki ini pada ibunya yang tengah serius membaca buku di sofa di sudut ruangan.
                “Benarkah ? Tidak ada anak yang dibiarkan orangtuanya berada di luar di malam hari pada cuaca seperti ini, Ben” Mommy melirik jam tangannya, “sekarang sudah jam 10 lebih. Ayo lekas tidur! Tidak baik untuk anak-anak tidur terlalu malam” kata Mommy sembari menuntun Ben menuju kamarnya.
                “Tapi Ben kan mau menemani Mommy..dan” Ben berhenti berjalan dan membalikkan tubuhnya menghadap Mommy. Tapi Mommy tak menghiraukan Ben, terus mendorongnya menuju kamarnya, “dan..dan diluar sungguh ada seorang anak. Kasihan sekali dia. Sepertinya dia kedinginan.”
                Mommy membungkuk, menyetarakan tingginya dengan tinggi anaknya, “Dengarkan Mom. Pada malam hari, di luar sana, mungkin saja ada orang-orang selain keluarga kita, tetangga-tetangga sekitar sini dan orang-orang yang Ben kenal. Diantara orang-orang yang tak dikenali ini bisa saja ada yang jahat. Itulah alasan mengapa anak-anak tak dibolehkan keluar sendirian di malam hari. Kau setuju denganku Ben ?” mata biru Mommy menatap tajam pada mata biru milik Ben. Anak Mommy ini mengangguk perlahan tanda setuju pada ibunya. Tapi tetap saja dia penasaran dengan anak yang sedang meringkuk kedinginan di luar sana. Dia merasa iba sekali jika anak itu tak ada yang menolong.
                “Anak baik” Mommy mencium dahi Ben, “Pergilah ke kamar tidurmu. Selamat Malam”.
                Ben menurut dan berjalan perlahan ke kamar tidurnya. Sedangkan Mommy masih melihatnya hingga dia benar-benar telah masuk ke dalam kamar. Setelah itu Mommy kembali ke ruang keluarga, penasaran akan hal yang dilihat oleh anaknya. Seorang anak kecil ? Dia pun melihat keluar jendela. Tidak ada siapapun dan apapun disana. Semua toko telah tutup (termasuk toko bunga miliknya) dan tidak ada seorang pun yang berjalan di area pertokoan ini. Kucing yang lewat saja tak tampak. Hanya ada banyak tetes hujan yang terbawa angin. Dia pun menutup tirai jendela.
***
                Malam berikutnya, cuaca di salah satu area pertokoan di London ini tak jauh beda dengan hari sebelumnya. Namun tak ada petir dan kilat yang ikut meramaikan cuaca. Ben kembali melakukan aktivitas favoritnya. Tentunya dia juga ingin melihat apakah malam ini sosok itu akan ada  disana, di tempat dia meringkuk kemarin. Karena tadi pagi saat Ben diantar Mommy berangkat sekolah, sosok itu tak ada. Sudah setengah jam dia mengamati teras toko kue, akhirnya tampak juga sosok yang ditunggu-tunggunya dari ujung gang yang berada tepat di hadapan ruko-nya ini, gang di sebelah toko kue itu.
                “Nak, ayo tidur” kata Mommy yang tiba-tiba memegang pundak Ben, “jangan terlalu sering melihat keluar di malam hari”.
                Ben memperhatikan raut wajah ibunya, “Tapi kan ini kesukaan Ben” lalu menoleh kembali ke jendela. Tirai telah menutupi jendela, sehingga dia tak dapat lagi melihat ke teras toko kue.
                “Ayo pergi tidur sana” lagi-lagi Mommy menyuruh Ben untuk tidur. Ben mencium pipi ibunya dan pergi ke kamar tidurnya.
                Meskipun telah berusaha, dia tetap tak dapat tidur. Bayang-bayang gaun bermotif bunga merah muda selalu menghantuinya. Tak mau hilang dari pikirannya. Dia merasa bersalah karena tak dapat menolong anak kecil yang kedinginan itu. Semakin lama tidurnya semakin tidak nyenyak. Lalu dia mendengar suara lirih tak jelas. Sebuah permintaan pertolongan.
                Seketika Ben membuka matanya. Terbangun dari tidurnya. Beranjak turun dari tempat tidur. Dan seperti tanpa sadar keluar dari rumah.
                Ketika kakinya menginjak rasa dingin dari jalan di depan rumah yang basah akibat bekas terguyur air hujan, dia tersadar sempurna.Bingung akan keberadaannya. Dan sejenak teringat pesan ibunya, anak-anak tak boleh keluar rumah sendirian di malam hari.
                Tapi kali ini Ben melihatnya. Benar-benar melihatnya sedang duduk meringkuk di teras toko kue persis seperti kemarin. Sebagai seorang anak yang memiliki rasa ingin tahu yang lumayan besar, Ben mengurungkan niat untuk kembali masuk ke rumah. Dan malah menghampiri sosok yang tak dikenalinya dan sebenarnya cukup misterius bagi Ben.
                Sebenarnya dia ragu dan takut. Tapi dia tetap mendekatinya. Semakin dekat...dekat...dan sosok itu memalingkan wajahnya ke arah Ben. Dalam sekejap dia merasakan semua rambut halus yang ada di sekujur tubuhnya berdiri. Dia berteriak sekeras yang suaranya bisa dan semuanya menjadi putih seketika.
***
                Saat Ben tersadar, dia telah berada di atas ranjang kasurnya. Kepalanya pusing sekali. Dahinya merasakan sesuatu yang dingin menempel disana. Pintu kamarnya terbuka. Mommy masuk ke dalam kamarnya dengan membawa sebuah baskom yang berisi cairan.
                Saat melihat Ben telah sadar, Mommy dengan cepat menghampirinya, “Ben, anak Mommy sudah sadar ?” memeluknya lalu menempelkan tangannya di leher dan dahi Ben.
                “Syukurlah. Panasnya sudah turun. Mom, baru saja akan mengganti ini” kata Mommy sembari mengambil kain lembut dari dahi Ben dan meletakkannya.
                “Sekarang ceritakan kepada Mom. Mengapa kau bisa berada di luar rumah pada malam itu ?” raut wajah Mommy berubah menjadi sangat cemas. Ben bingung bagaimana menjawabnya. Atau lebih tepatnya, dia tak ingat apapun tentang pertanyaan Mommy dan dia tak tahu apa-apa. Dia hanya terdiam menatap Mommy seolah-olah dia sedang berusaha mengingat sesuatu yang tak pernah terjadi.
                “Ben, ceritakan saja. Mom tak akan marah” kini suara Mommy lebih lembut. Dia membelai rambut Ben.
                “A...aku...tak tahu apa maksud Mom”.
                “Ben, kau ini sudah pingsan selama satu hari penuh. Mom cemas sekali. Bagaimana kau tak bisa mengingat mengapa kau keluar rumah pada malam itu, dan Mommy menemukanmu di luar sana, pingsan, setelah kau berteriak sangat keras, hingga membuat pemilik toko kue keluar mendengar teriakanmu ? Apa yang sebenarnya terjadi ? Ceritakan pada Mommy” kini raut wajah Mommy kembali dilanda kecemasan.
                Raut wajah Ben pun mulai berubah. Dari bingung menjadi seperti...menahan tangis.
                “Sssh...Anak Mommy jangan nangis...” Mommy pun memeluk Ben.
                “Tapi Ben tak tau Mom. Ben tak tau...”
                “Iya. Iya. Sssh...Kita lupakan soal ini. Sudah berlalu. Tak perlu diungkit lagi” Mommy mencoba menenangkan Ben yang semakin menangis. Ini wajar. Ben hanya seorang anak berumur 6 tahun. Dia mudah menangis.
                “Tapi Mom...”
                “Sssh...”
                “Kalau dia datang lagi bagaimana ?”
                “Dia siapa ?” Mommy terkejut.
                “Dia...dia...” Ben kembali menangis, tubuhnya kecilnya gemetaran di pelukan ibunya. Sekarang Mommy merasa lebih cemas melihat Ben seperti ini. Tak ada keraguan lagi bahwa sesuatu telah terjadi pada anaknya di malam itu.
***
                Sudah 15 hari berlalu sejak peristiwa itu. Ben telah kembali ceria. Melakukan aktivitas seperti biasanya, bersekolah, bermain bersama anak-anak pemilik toko lainnya dan terkadang membantu Mommy memotong tangkai bunga (ini jarang sekali, itupun kalau Mommy memintanya).
                Dan semenjak itu juga Ben tak pernah lagi melakukan aktivitas favoritnya. Bukan karena dia tak mau, tapi Mommy melarangnya.
                “Kalau Mommy telah menutup tirai, jangan sekali-sekali membukanya atau mengintip keluar jendela. Mengerti ?” setidaknya perkataan inilah yang Ben dengar setiap hari menjelang malam. Tapi malam ini berbeda. Mommy sedang pergi dan belum pulang. Kini Ben hanya bersama Mr. Frank,  seorang kakek pemilik toko kue yang ada di depan ruko-nya (Mommy menitipkan Ben padanya).
                Ben melirik ke arah jendela yang tidak tertutup tirai. Sepertinya Mr. Frank lupa menutup tirainya, karena Ben yakin Mommy pasti telah memberitahu Mr. Frank untuk menutup tirai, dan bahkan kini dia telah tertidur pulas di atas sofa, mulutnya menganga lebar dan kacamata bulatnya merosot ke hidungnya. Ini kesempatan Ben.
                Dia naik ke atas sofa panjang dan melongok keluar jendela. Betapa terkejutnya dia melihat ada seorang anak perempuan sedang bermain balon di luar. Wajahnya ceria berseri-seri tiap kali dia berhasil melambungkan balonnya, Ben dapat melihat dengan jelas ekspresinya dari balik jendela ini. Dan anak itu bercahaya, walaupun tak bisa dibilang seperti cahaya lampu juga, tapi dia sungguh bercahaya. Ben terpikat untuk ikut bermain bersama anak perempuan diluar itu. Dia kan hanya anak kecil sama denganku, jelas tidak berbahaya, pikirnya.
                Ben membuka pintu rumah perlahan. Anak perempuan itu masih bermain dengan balonnya. Langkah demi langkah Ben mendekatinya. Anak itu berhenti bermain dan melihat ke arah orang yang mendatanginya, Ben. Wajahnya cantik dan menggemaskan, kulitnya putih bercahaya, pipinya merona merah, dan matanya berwarna hijau (jika kau melihatnya, seakan-akan kau ingin memakannya), setidaknya ini yang ada di pikiran Ben saat melihatnya. Anak ini memikat sekali, bahkan untuk anak kecil seperti Ben. Gaunnya bermotif bunga merah muda dan dia memakai bando pita yang menghiasi rambut hitam panjangnya.
                “Kau siapa ?” tanya anak itu.
                “Ben”
                “Ben siapa ?” tanyanya lagi.
                “Anak Mommy yang punya toko bunga itu” jawabnya sambil menunjuk ruko-nya (ruko milik Mommy-nya), “Kau siapa sih ? Kau bukan warga sini. Kau tak pernah kelihatan” Ben bertanya balik.
                “Aku...” dia berjalan menjauh dari Ben, dan dalam seketika membalikkan badan, “Yuk, kita bermain balon bersama !” ajak Si anak perempuan. Ben sulit sekali untuk menolak ajakannya. Dia ingat sekali pesan Mommy tentang orang-orang jahat di malam hari, tentang larangan keluar rumah di malam hari bagi anak yang masih sangat muda sepertinya. Tapi rasa terpikatnya pada anak ini, Tidak ! Dia terpikat pada cahanya, ya cahaya itu, mampu menghapus pesan-pesan Mommy. Mereka pun bermain balon bersama. Melambungkan balon setinggi yang mereka bisa, tertawa, berebut balon, berlarian saling berkejaran, hingga Ben sendiri merasa sangat lelah. Dia pun memilih duduk di teras ruko-nya.
                “Nih !” Si anak perempuan menyodorkan sebuah permen lolipop yang tampak menggiurkan. Bagi Ben, permen itu juga bercahaya. Cahaya yang tidak menyilaukan. Cahaya yang indah. Dia pun menerimanya dan langsung memasukkannya ke dalam mulut.
***
                “Mr. Frank, dimana Ben ?”
                Suara Mrs. Grande membangunkan kakek tua yang sedang tertidur itu. Matanya masih setengah terbuka, lalu dia membetulkan letak kacamatanya.
                “Tadi dia disitu Mrs. Grande” jawabnya sambil menunjuk ke sofa panjang.
                “Dimana ? Dimana Ben ? Ya Tuhan...” Mrs. Grande mulai kebingungan. Dia panik. Jantungnya berdebar kencang. Dengan rasa khawatir yang membara, dia mencari Ben di semua ruangan. Bahkan kolong kasur pun diperiksanya. Mr. Frank tentunya ikut mencari. Dia tak kalah merasa khawatir, atau tepatnya merasa bersalah dan takut disalahkan. Dia tertidur, anak itu hilang, Ini salahnya !
                “Ben !”
                “Aku takut hal itu terulang lagi, Mr. Frank...” dari mata wanita muda ini mulai keluar butir air mata. Tubuhnya terguncang. Dia menyanggah tubuhnya dengan tangan kanannya di atas lengan sofa, “Kita cari diluar. Aku yakin dia disana !”
                Diluar ruko, di semua area pertokoan, bahkan hingga tempat-tempat yang jauh dari area pertokoan ini pun Ben tetap tak ditemukan. Mrs. Grande sudah melaporkannya kepada polisi, tapi hingga satu tahun berlalu polisi tak dapat menemukannya, kini mereka telah menyerah mencarinya.
                Mrs. Grande tetap dan semakin terguncang tiap harinya. Kesehatannya pun semakin menurun. Hingga di usianya yang masih muda, dia sudah meregang nyawa.
                Sedangkan, nun jauh disana. Ben jelas masih hidup. Dia amnesia. Tak mengingat siapa dirinya. Dan sekarang berada di kehidupan yang sangat berbeda. Ini semua ulah pemilik wajah menyeramkan itu, penyihir jahat.

END

Sabtu, 21 Februari 2015

Komentar