CERPEN : Belajar Bersama Bunda

Cerpen ini merupakan ide dari Saya dan teman saya, Nur Shabrina Shaliha. Namun, yang membuat naskahnya hanya saya (teman saya lebih ke plot-plot ceritanya)
Cerpen ini merupakan hasil tugas membuat cerita di mata kuliah "Storyboard" jurusan Teknologi Game di PENS

Selamat Membaca ^^




Belajar Bersama Bunda

Rumahku adalah surgaku. Kurasa pepatah ini benar. Ayah bekerja, tentu saja aku tahu ayah bekerja, dia orang baik. Ibu di rumah, sejak bangun tidur aku sudah dapat menemukannya di dapur bersama Bik Uni mempersiapkan sarapan pagi. Pulang sekolah, aku menemukannya sedang membaca buku (dan aku tak pernah tertarik untuk melihat isinya) atau sedang mencetak adonan dengan cetakan bintang atau beruang. Bang Haqi, oh jangan tanyakan tentang dia, aku tak ingin menceritakan tentang kejahilannya.Tapi...Okelah akan aku ceritakan sedikit, tapi bukan tentang kejahilannya. Dia kakakku, anak sulung. Bersekolah di SMA Negeri 5 Surabaya, dan beberapa bulan lagi akan menjadi alumni. Ingin sekali membuat robot pembuat roti. Yeah, kau sudah bisa menebak apa cita-citanya. Setidaknya dia lebih siap menyongsong masa depan daripada aku yang tak ingin jadi apapun, lebih asyik bermain Mobil remote kontrol. Dan yang terakhir, Dik Syifa, anak bungsu di rumah ini, yang paling cerewet dari semua anggota keluarga.
"Hanif... Ayo belajar! Besok kan ulangan" panggil Bunda dari arah dapur. Aku tahu dia sedang membuat adoan kue. Aduh, besok ulangan dan harus berhadapan dengan buku lagi.
"Hanif..." Bunda memanggil lagi karena aku tak menjawab, tetap asyik melajukan Mobil remot kontrol mengitari ruang keluarga.
"Iya Bunda" sahutku akhirnya. Aku beranjak ke kamar, melemparkan Mobil remote kontrol ke kasur, mengambil buku IPA kelas 6 yang sampulnya tak kusukai (bergambar bunga merah muda seperti buku anak perempuan), duduk di kursi belajar lalu mulai membaca dengan keras. Aku tak peduli apakah yang kubaca masuk pikiran atau tidak. Yang penting adalah  bunda mengetahui bahwa aku belajar.
Di tengah-tengah suara lantangku membaca tentang paru-paru manusia, terdengar ketukan dari arah pintu. Bunda memanggil-manggil namaku. Kedengarannya dia sedang marah. Aku beranjak membuka pintu.
" Ada apa Bun?"
"Belajar itu tidak bersuara, Hanif! Kasihan Syifa tidak bisa tidur karena mendengar suaramu, Nak" kata bunda.
"Tapi Hanif nggak suka kalau belajar duduk diam, Bun" rengekku. Tampak Bang Hanif lewat di belakang punggung Bunda. Dia menjulurkan lidah ke arahku. Ingin kubalas ejek dia, tapi apa daya ada bunda di depanku.
"Kan Bunda sudah bilang dari dulu. Cobalah belajar dengan benar. Apa bisa belajar dengan cara begitu? Apa bisa dipahami materinya?" tanya Bunda. Aku menggeleng, aku memang tidak paham dengan materinya. Aku pun tidak menyukai IPA. Lebih menyenangkan belajar Bahasa, ada cerita dan dialog di dalamnya, jadi aku bisa mempraktekannya, berdialog dan mendongeng.
Aku hanya terdiam. Lebih baik tidak usah belajar sekalian daripada harus belajar duduk dan tanpa suara.
"Bunda nggak mau dengar suara-suara keras lagi ya. Mengerti?"
"Hmm..." aku hanya mengiyakan. Bunda kembali ke dapur, aku naik ke atas kasur dan melupakan tentang ulangan.
***
"50 ?!" Bunda terkejut melihat angka merah di kertas ulanganku. Aku mengerut ketakutan. Seharusnya tadi aku bilang saja kertas ulanganku belum dibagikan, hilang atau alasan apapun lah, tapi aku terlalu takut untuk berbohong.
"Apa Bunda bilang! Cara belajarmu salah Hanif."
"Iya Bun" daripada berlama-lama mendengarkan Bunda menyalahkan cara belajarku, lebih baik aku mengiyakan, seakan-akan setuju padanya. Tapi jurus ini tidak bertahan lama.
"Hanif, kenapa nilai ulanganmu jelek lagi?" lagi lagi bunda tahu nilai ulanganku yang 'jelek' menurut bunda. Menurutku sih nilai 60 tidak jelek. Bunda mengibaskan kertas dengan angka 60 merah di sudut kanan atasnya, kertas ulangan IPS. Lagi lagi aku memakai jurus yang tidak dapat bertahan lama.
"Jangan iya-iya saja Hanif! Bunda ingin cara belajarmu beneran berubah. Kamu ini kan sudah kelas 6. Bagaimana dengan ujianmu nanti jika begini terus."
Kejadian seputar nilai ulangan 'jelek' terus berulang. Dan perintah-perintah bunda tentang cara belajar semakin bertambah dengan perkataan seputar nasib ujianku kelak, mau melanjutkan ke SMP mana, mau jadi apa besar nanti, dan banyak hal yang kurasa masih sangat jauh di depan sana. Mau jadi apa besar nanti? Itu belum terbayang di benakku. Dan aku tidak peduli.
            Suatu hari, ketika aku sangat kehausan setelah bermain basket bersama teman-teman di halaman rumahku dari pagi sampai siang, aku tidak sengaja mendengar bisik-bisik percakapan yang sepertinya penting.
            “Sebaiknya Bunda membatasi pesanan katering yang datang, biar punya waktu lebih untuk membantu anak-anak belajar terutama Hanif. Kan Hanif sebentar lagi mau ujian, Bun.” Kata-kata ini sayup-sayup kudengar, dan aku paham benar bahwa ini suara Ayah.
            “Hmm... benar juga sepertinya kata-kata Ayah. Bunda memang harus lebih sering  memperhatikan anak-anak dan membantu mereka belajar ya Yah...”
            “Nah, betul tuh Bun. Itu Bunda tau. Biar Ayah saja yang mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tugas Bunda yang utama hanyalah mendidik anak-anak kita. Menjadikan mereka generasi penerus bangsa yang baik dan bertakwa. Apa Bunda mau tukar fungsi dengan Ayah ? Bunda yang bekerja, Ayah yang mendidik anak-anak di rumah.”
            “Apa sih Yah...”
            Aku memutuskan untuk tidak menguping kelanjutannya, karena sudah terlanjur gusar mendengarkan percakapan ayah dan bunda. Bunda mau membantu kami belajar ? Termasuk aku juga ? Aku kan sudah besar. Ngapain juga harus dibantu bunda dalam belajar. Pasti membosankan.
***
            Bik Uni mempersilahkan dua orang dewasa membawa masuk sebuah papan tulis putih besar ke ruang keluarga. Bunda keluar dari kamarnya, berbicara sepatah dua patah kata kepada dua orang itu, lalu memberikan sebuah amplop, salah satu dari dua orang tersebut menulis sesuatu di secarik kertas lalu memberikannya ke bunda, dan mereka melakukan gerakan seperti izin pergi, lalu mereka benar-benar pergi. Aku melihat hal ini dari dalam kamarku yang pintunya terbuka sedikit. Pasti bunda telah membeli papan tulis putih itu. Tapi buat apa ? Bunda mau membuka kursus belajar mengaji ?
            Aku tak sabar dengan rasa penasaranku, maka aku menghampiri Bunda. Saat aku lewat, Bik Uni seperti biasa, menanyakan apakah aku sudah makan, padahal baru saja kita semua selesai sarapan pagi, Bik Uni pun makan semeja dengan kami. Apakah dia tak melihatku saat di meja makan tadi ?
            “Bun, papan tulis ini buat apa ?”
            “Eh, Hanif. Mengagetkan Bunda saja” Bunda melihat kearah papan tulis, melirik Bik Uni, lalu melihat kearahku lagi, “papan tulis ini ? Hmm... nanti Hanif pasti akan tau sendiri kok buat apa.”
            “Ih, Bunda nggak asyik. Main rahasia-rahasiaan. Bunda mau buka kursus belajar mengaji ya ?”
            Bukannya menjawab, Bunda malah ketawa-ketiwi dengan Bik Uni. Ada apa sih dengan Bunda dan Bik Uni ?
            “Aden, tunggu aja deh tanggal mainnya...” kata Bik Uni masih dengan saling melirik mata dengan Bunda. Aku bersungut-sungut meninggalkan mereka. Perempuan memang sulit ditebak dan suka main rahasia-rahsiaan.
***
            Ternyata papan tulis putih itu ada hubungannya dengan percakapan yang aku dengar tak sengaja antara ayah dan bunda kemarin. Bunda benar-benar akan membantu kami belajar. Iya, kami, aku dan Dik Syifa. Bang Haqi sudah terlalu besar, pelajarannya pun teramat sulit, aku pernah melihat salah satu buku tulisnya dan tak mengerti maksud berbagai garis melengkung yang ada di dalamnya, sepertinya bunda tak memasukkan bang Haqi dalam daftar “Belajar Bersama Bunda”-nya. Tiga kata dengan awalan huruf ‘B’ itu terbaca dengan sangat jelas di pojok kanan atas papan tulis putih dihadapan kami ini. Di tengah ada tulisan Basmalah dengan tulisan arab, dan di pojok kiri ada hari dan tanggal. Papan tulis ini lebarnya kira-kira 3 depa-ku, dan bisa sampai 7 depa dik Syifa. Panjang sekali.
            “Bun, Bun... kapan kita mulai belajarnya ?” dik Syifa tampak bersemangat sekali. Bahkan dia mengatakannya sambil menarik-narik baju bunda.
            “Ayo kita mulai belajarnya. Siapkan buku-buku kalian untuk pelajaran besok ya Hanif dan Syifa...” kata bunda. Aku ber-piuh pelan. Duduk di atas karpet, di belakang meja belajarku. Ah, belajar pelajaran. Nggak asyik. Apalagi besok pelajaran IPA. Gambar bunga merah muda di sampul buku ini semakin lama semakin tampak membosankan.
            Namun, tak disangka. Semua kebosanan yang aku pikirkan diawal tidak terjadi. Malah belajar bersama bunda ini lebih mengasyikkan daripada belajar sendiri. Di awal tadi, bunda membuka dengan do’a dan menceritakan sebuah cerita singkat kepada kami. Lalu, menanya-nanyai kami seputar cerita tersebut, siapa yang lebih cepat dan benar dalam menjawab akan mendapatkan poin berupa satu bintang yang digambar di tabel yang telah dipersiapkan sebelumnya di kiri papan tulis.
            Sistem belajar pelajaran kami pun berlanjut seperti itu. Bedanya, kami sendiri yang akan membaca materi belajar di depan papan tulis. Tidak boleh memakai suara yang keras, cukup dengan suara yang hanya terdengar diantara kami saja, kata bunda agar tak mengganggu bang Haqi yang sedang belajar di kamar. Setelah itu tetap ada sesi tanya-jawab. Dik Syifa antusias sekali, bahkan pada sesi tanya-jawab pelajaranku, dia sering mengacungkan tangan duluan, walau jawabannya salah semua. Kalau dalam sesi tanya-jawab pelajaran dik Syifa, terkadang aku menjawab duluan tapi aku salah-salahkan jawabannya, biar dia tetap semangat.
            “Ah, Bang Hanif pura-pura nggak bisa.” Sesekai Syifa berceletuk seperti itu. Memang aku sengaja pura-pura, aku kan lebih pintar dari kamu Syifa, ledekku dalam hati.
            Tak terasa 3 jam berlalu. Syifa sudah tidur duluan sejak 1 jam yang lalu, jam 8, jadwal tidurnya. Ah, aku ingin sekali belajar seperti ini lagi. Seru sekali. Terkadang Bunda juga menjelaskan dengan membuat gambar-gambar di papan tulis.
            “Bun, poin bintang itu untuk apa ?”
            “Untuk kejutan di akhir bulan, Hanif.” Kata bunda sambil mengedipkan mata sebelah.
            “Yang paling banyak dapet hadiah ya Bun ?” celetukku.
            “Rahasia.”
            “Ah, Bunda nggak asyik. Besok belajar bersama bunda lagi ya... hehe” kataku sambil menunjuk tulisan di pojok kanan papan tulis. Bunda hanya tersenyum tanda mengiyakan.
***

            “Usus Buntu!” teriakku lantang. Bunda menggeleng-gelengkan kepalanya, tanda jawabanku salah. Dik Syifa mengacungkan tangan dengan semangat, “Cacingan... Bun!”
            “Hmm...” Bunda sepertinya sedang menimbang-nimbang jawaban dik Syifa, “bagus Syifa. Meskipun ini bukan pelajaranmu, kamu ikut menjawab. Tapi sayang, jawabannya salah Nak...”
            “Bun, kok Bunda kalau malam nggak buat kue lagi? Udah nggak terima katering lagi ya Bun?” celetukku asal.
            “Jangan mengalihkan pembicaraan, Hanif. Jawabanmu salah. Kamu belum membaca bab penyakit di buku IPA-mu ya?” Aduh, aku ketahuan. Bunda dapat membaca jalan pikiranku. Aku pun nyengir, buku IPA tak pernah kubaca dengan serius.
            “Bunda sudah tahu jawabannya” kata Bunda dengan wajah cemerlang, seakan-akan Bunda tahu semua apa yang kupikirkan, “ Hanif, membaca itu adalah kunci dasar kamu dapat mengerti ilmu yang ada di dalam sebuah buku, salah satunya buku IPA-mu. Walaupun kamu tak suka atau tak paham, tetap cobalah untuk membacanya.”
            “Tapi Bun, aku sudah membacanya. Tapi tak pernah dapat paham dengan pelajaran  IPA itu” kataku, berusaha untuk memenangkan argumen bahwa aku-tidak-perlu-belajar-IPA.
            “Membaca itu tidak hanya sekedar melihatnya, melisankannya lalu melupakannya. Membaca itu perlu pemahaman akan apa yang dibaca, atau kalau perlu sampai membayangkannya. Percaya deh sama Bunda”
            “Kalau tentang bakteri-bakteri bagaimana membayangkannya Bun ?” Ucapan Bunda sepertinya benar juga. Hanya saja, aku tetap mencari-cari alasan agar terhindar dari keharusan belajar IPA ini.
            “Tinggal digambar saja, coba tulis keterangan-keterangannya dengan pensil warna-warni. Biasanya akan menjadi mudah diingat.”
            “Tapi Hanif tidak bisa menggambarnya Bun.”
            “Tidak perlu mirip, Hanif gambar sebisanya saja, ditambah-tambah dengan mata dan mulut pun tidak masalah. Yang penting saat Hanif melihatnya, Hanif tahu bahwa itu bakteri A, bakteri B atau benda-benda yang ada di buku IPA lainnya”
            “Oooh. Benda-benda yang ada di dalam buku IPA ya Bun” Aku merasa sedikit tertarik dengan gambar-menggambar ini. Lumayanlah daripada melihat tulisan terus.
            “Tapi, kalau Hanif mau menggambarnya berarti Hanif harus membacanya dulu ya  Bun?” tanyaku cemas. Membaca buku IPA? Malas sekali.
            “Ya pasti dong, Nak. Kalau kamu nggak membacanya bagaimana kamu bisa menggambarnya. Oke, sekarang kamu coba gambarkan bakteri e-coli yang tadi Bunda tanyakan dan tambahkan keterangan-keterangan juga ya...”
            “Loh Bun bakteri e-coli tadi penyebab penyakit apa?”
            “Nanti kamu pasti tau sendiri setelah membacanya” kata Bunda sembari mengedipkan matanya.
            “Penyakit cacingan Bang...” celetuk Dik Syifa, yang sepertinya merasa tidak dihiraukan sejak tadi.
            “Ah, Dik Syifa sotoy. Masa bakteri menyebabkan cacingan, kan itu dua hewan yang berbeda. Bun, bakteri itu hewan ya?”
            Bunda terkikik perlahan, “Bukumu dapat menjawab pertanyaanmu, Hanif.”
            “Ah, Bunda. Bilang aja Hanif disuruh membaca buku” kataku lesu. Okelah nggak papa, biar bisa menggambar bakteri e-coli.
            “Ahahahaha, Bang Hanif juga sotoy. Gitu bilang aku sotoy” kata Dik Syifa tertawa puas ke arahku.
***
            Semakin hari aku semakin suka belajar bersama Bunda. Karena kini Bunda menerapkan metode belajar baru selain tebak-tebakan jawaban, yaitu metode menggambar. Ini semakin menyenangkan.
            Aku yakin, nilai ulanganku (terutama IPA) akan menjadi sangat baik. Bunda pasti akan bangga padaku. Aku akan menjadi juara kelas.
            “Hanif, ayo makanannya segera dihabiskan. Jangan melamun saja. 10 menit lagi bis sekolah akan tiba...” kata Bunda di tengah-tengah mempersiapkan bekalku dan bekal Syifa. Lamunanku tentang aku yang membawa piala juara kelas pun hilang entah kemana.
            “Siap Bunda” kataku bersemangat. Sampai-sampai rasanya cuaca cerah pagi hari di luar rumah lebih cerah dari biasanya. Hari ini sepertinya akan menjadi hari yang baik.
            Tak lama, bis sekolah pun datang. Bangku di dalamnya telah banyak terisi, maklum rumahku termasuk rumah yang terakhir dikunjungi (walaupun rumah paling akhir adalah rumahnya Dastan, temanku yang paling jahil dan suka caper). Biasanya aku memilih duduk di bangku belakang paling panjang, karena bangku tersebut jarang ada yang menduduki sehingga aku dapat duduk sendirian dan tidak ada anak yang mengganggu tidur singkatku.
Tapi hari ini berbeda, temanku Hasan tiba-tiba memanggilku. Dia hendak menanyakan tentang materi bahasa arab yang akan diujiankan nanti. Akhirnya, hari ini aku duduk bersamanya.
            “Woi, kalian! Ini tempat dudukku!” teriak Dastan pada aku dan Hasan. Ternyata bis telah melewati rumahnya. Dan sekarang dia di hadapan kami, seperti biasanya, berteriak-teriak pada setiap anak yang duduk di tempat favoritnya-tempat terdekat dengan pintu bis.
            “Kami tadi juga kehabisan tempat duduk. Dan tinggal tempat inilah yang sepertinya tersisa” kata Hasan dengan ekspresi menantang. Dia memang terkenal berani berhadapan dengan siapa saja dalam kondisi apapun. Sepertinya hari ini benar-benar hari baik, biasanya aku malah menghindari sekali memiliki masalah dengan Dastan. Karena selain badannya besar, dia juga terkenal paling nakal di kelasku bahkan di sekolah.
“Aku nggak mau tahu. Yang pasti ini tempat dudukku! Dan kalian harus menyingkir dari sini!”
Hasan tetap bersikukuh tidak mau berpindah tempat, meskipun sebenarnya di belakang masih ada bangku kosong. Dan aku hanya bisa menyetujui tindakan Hasan.
            “Ayo anak-anak! Hentikan perbincangan kalian. Bis akan melaju” kata Pak Agus, sopir bis sekolah ini. Mendengar ini, Dastan pun mendengus kesal kepada kami, “Akan kubalas kalian !” aku dan Hasan hanya mengernyit cuek. Anak seperti Dastan tidak usah ditanggapi serius.
Saat sampai di kelas, suasana begitu ramai. Ini hal yang sangat wajar. Hampir semua anak sedang ribut belajar dan menghafalkan materi IPA yang akan diujiankan pagi ini, kecuali tentu saja-Dastan dan kawan-kawannya-yang sama sekali tidak pernah peduli dengan ujian. Saat sampai di sekolah, mereka langsung menuju kantin (tempat favorit mereka). Meskipun begitu, yang sangat aku herankan, Dastan tetap akan mendapatkan nilai yang baik di semua mata pelajaran. Itulah alasan mengapa meskipun dia sangat nakal, dan jangan kalian kira nakalnya Dsatan itu masih tergolong biasa, dia bahkan pernah memasukkan katak kedalam tas seorang guru yang tidak disukai oleh hampir semua murid, tapi tetap saja guru-guru enggan mengeluarkannya dari sekolah.
Sementara aku untuk kali ini, mengikuti kebanyakan teman-teman lain, membaca buku IPA. Padahal biasanya aku lebih suka berbincang dengan Pak Fahri, guru IPA kami. Sudah menjadi rutinitas Pak Fahri menyambut semua murid yang datang di pintu gerbang sejak gerbang dibuka. Aku pernah menanyakan alasannya, Pak Fahri berkata bahwa dengan begitu semua murid dapat mengenalnya, agar dia bisa dekat dan memahami semua murid. Pak Fahri memang orang yang asyik, aku bahkan sering menemaninya di gerbang sembari membicarakan berbagai hal. Aku sangat senang mengetahui hal-hal baru. Bagian yang paling aku sukai adalah ketika Pak Fahri menceritakan perjalanan travelingnya ke berbagai penjuru dunia.
Tapi kali ini, aku lebih memilih untuk belajar. Agar nilai ujianku bagus dan aku dapat menjadi juara kelas.
            “Hanif”.
            “Oh, Pak Fahri. Ada apa Pak?”kataku setengah terkejut karena tiba-tiba Pak Fahri telah berada di hadapanku.
“Sudah siap dengan ujian nanti?”
            “Sudah Pak. Siap banget bahkan. Aku yakin di ujian kali ini akan dapat nilai bagus” kataku nyengir.
“Bagus kalau begitu. Bapak tinggal ke ruang guru dulu ya...”
“Iya Pak” kataku. Sepertinya Pak Fahri merasa ada yang aneh melihatku belajar, kan biasanya aku berbincang dengannya. Ah, biarlah.
***
            Akhirnya ujian pertama di hari ini telah terlewati, ujian Bahasa Arab. Aku merasa bisa menjawab semua soalnya. Sejak dulu pelajaran bahasa adalah pelajaran favoritku.
            Sekarang waktunya ujian IPA. Aku telah mempersiapkannya, bahkan lebih dari persiapan untuk ujian Bahasa Arab tadi. Yang tadi saja aku bisa, apalagi ini. Kulihat Pak Fahri memasuki kelas. Di tangannya terdapat setumpuk kertas ujian. Kertas-kertas dibagikan.
            Saat kertas ujian sampai kepadaku, segera kulihat secara cepat soal-soalnya. Sepertinya soal-soal yang ada disini yang sudah kubaca. Ah, langsung mengerjakan saja. Bismillahirrohmanirrohim.
            Soal tentang e-coli ternyata keluar, tentu aku bisa. Lalu, selanjutnya soal tentang enzim-enzim... apa ya? Aku rasa aku pernah membaca tentang ini. Kok lupa ya. Aduh... kok lupa.
            Lima menit, Sepuluh menit, Lima Belas menit, waktu terus berlalu, namun aku belum juga dapat menjawab soal-soal tentang enzim ini. Apalagi soal tentang enzim nggak hanya satu atau dua, tapi ada sepuluh soal ! Sudah tamatlah riwayat hasil ujianku. Bahkan soal-soal yang lain pun tak semuanya kuketahui jawabannya.
            Bel telah berbunyi. Aku belum mengerjakan banyak soal.  Rasanya semangat tadi pagi hilang seketika. Meski belum selesai, kertas ujian tetap kukumpulkan.
            “Hanif, kok lesu ?” Hasan menyapaku saat kami keluar kelas.
            “Aku tetap nggak bisa mengerjakan ujian IPA, padahal sudah belajar” kataku semakin lesu.
            “Berarti kamu harus lebih giat lagi belajarnya biar bisa”.
            “Tapi ini saja aku sudah jauh lebih giat daripada kemarin-kemarin. Hmm... aku jadi heran kenapa Dastan bisa pintar di semua pelajaran ya ? Padahal dia nakal dan sepertinya tak pernah belajar” tiba-tiba gagasan seperti ini tercetus ke dalam pikiranku.
            “Hmm... Iya ya” Hasan menyetujuinya sejenak, “Hush... kita nggak boleh ngomongin Dastan di belakangnya, nggak baik. Gimana kalau kita langsung cek aja ?” kata Hasan menyeringai.
            “Cek ?”
            “Iya. Kita jalankan misi ini sepulang sekolah”.
            “Misi seperti apa ? Ngomong-ngomong ini sudah pulang sekolah”.
            “Oh iya, yuk segera ke bis sekolah sebelum ketinggalan !” kata Hasan bersemangat. Kami pun berlari menuju bis sekolah. Untung saja belum berangkat. Hampir semua teman-teman yang biasa naik bis sekolah telah berada di dalam. Hanya segelintir saja yang belum naik, termasuk kami. Dastan pun telah ada di dalam, duduk di tempat favoritnya.
            “Cek gimana, Hasan ?” sesampainya di dalam aku kembali penasaran. Kami mengambil bangku yang berada di belakang bangku Dastan.
            “Kita akan mengikuti Dastan sampai ke rumahnya. Aku ingin mengetahui rahasia cara belajarnya” bisik Hasan di telingaku.
            “Hah ?! Kalau ketahuan gimana ? Lagipula nanti kita pulangnya gimana ?” aku tercengang mendengar misi Hasan. Anak ini super sekali beraninya. Aku saja tak pernah berani berkeliaran di luar sebelum pulang ke rumah dan meminta izin pada Bunda. Takut Bunda mencari.
            “Nanti kita turun sedikit jauh setelah Dastan turun. Lalu, kita ikuti dia dari belakang pelan-pelan. Hmm... yang bikin agak sulit kita belum pernah ke rumahnya, jadi nggak tau lokasi tepatnya dimana kalau semisal nanti kita sampai kehilangan jejaknya” Hasan terdiam sejenak memikirkan sesuatu,”ah, tapi tak apalah nanti kita bisa tanya-tanya di tetangga sekitar situ. Masalah nanti kita pulangnya gimana, tenang aja aku bawa handphone kok. Nanti aku bisa telfon kakakku minta menjemput kita”.
            “Tapi...”
            “Sudahlah. Sekali-kali kita berpetualang. Lagipula kita sedang mencari cara belajar yang jitu hehe”kata Hasan terkikik kecil. Aku akhirnya menyetujuinya dan berniat menitipkan pesan untuk Bunda melalui Pak Agus bahwa aku pulang agak terlambat karena hendak ke rumah teman (rumah Dastan tepatnya).
            Akhirnya Dastan turun dari bis sekolah. Aku dan Hasan bersiap-siap menjalankan misi.
            “Turun disini saja Pak !” kata Hasan lantang setelah bis melaju sekitar limabelas detik setelah Dastan turun.
            “Loh kok turun disini ?”
            “Iya Pak. Mau ke rumah temen dulu”.
            Pak Agus akhirnya mengijinkan kami turun sembari memberikan pesan-pesan seperti jangan pulang kesorean, kabari orangtua dan entah apalagi karena aku tak seberapa memperhatikan, pikiranku sibuk memikirkan Bunda. Aku pun tak lupa menyampaikan pesan yang telah kurancang untuk Bunda ke Pak Agus. Dan dia berjanji untuk menyampaikannya. Kami turun dan bis melaju lagi.
            “Yuk, kita sudah ketinggalan lumayan jauh...” kata Hasan berlari duluan ke arah Dastan turun, sementara aku berlari di belakangnya.
            “Itu Dastan. Wah sudah jauh sekali ya dia. Ayo cepat, sepertinya dia mau berbelok ke jalan yang disana. Nanti kita bisa kehilangan jejaknya” seru Hasan menggebu-gebu. Aku juga melihat Dastan, dia memang telah jauh sekali.
            Sesampainya kami  di jalan belokan tadi, kami tak dapat melihat Dastan lagi. Kami telusuri  jalannya, ternyata disini ada banyak belokan. Kami menjadi bingung. Akhirnya kami bertanya-tanya pada tetangga sekitar hingga kami dapat menemukan rumah Dastan.
            Kami sedikit terkejut melihat rumahnya. Rumah Dastan tidaklah seperti rumah kami. Rumah ini sepertinya sempit dari tampak depannya, modelnya sama dengan rumah-rumah di sebelahnya, berdempet-dempet dan aku perhatikan lingkungannya pun kotor.
            “Kamu aja yang pergi !”
            “Kamu kenapa sih marah-marah terus ! Salahku apa ?”
            “Salahmu ? Banyak !!!”
            Aku dan Hasan tiba-tiba mendengar teriak-teriakan dari arah rumah Dastan. Sepertinya ada yang sedang bertengkar disana. Tampak Dastan dengan tetap memakai seragam sekolah dan tas keluar dari rumah. Dia sepertinya sedang marah. Hasan segera mengajak aku bersembunyi agar tidak terlihat Dastan. Kami bersembunyi di balik gerobak yang ada di depan rumah sebelah rumah Dastan.
            “Apa yang teriak-teriak tadi Dastan ?” tanya Hasan.
            Aku menaikkan bahu, “Entahlah. Tapi aku ragu itu suaranya. Apa nggak sebaiknya kita hentikan saja misi kita ? Sepertinya Dastan sedang punya masalah” aku mulai merasa simpati padanya. Aku duga yang sedang bertengkar tadi adalah orangtuanya. Kasihan betul Dastan, aku selama ini tak pernah melihat Bunda dan Ayah bertengkar bahkan untuk sekali saja. Tiba-tiba aku merasa amat beruntung.
            “Justru itu. Kita tetap akan melanjutkan misi. Barangkali justru kita dapat membantunya keluar dari masalah” kata Hasan mantap.
            “Kamu nggak takut San ?”
            “Takut kenapa ? Dia kan teman kita. Kalau sedang kesusahan ya kita tolong. Asal bukan kesusahan karena dihukum guru akibat kejahilannya aja haha”.
            Temanku yang satu ini benar-benar baik. Berani dan terkadang suka melucu. Seperti semua masalah adalah petualangan baginya.
            “Ayo”.
            Kami pun mengikuti Dastan diam-diam. Dia menuju ke sebuah tanah lapang yang sepertinya adalah lapangan yang biasa digunakan arena sepakbola karena ada dua gawang disini. Dastan memanjat sebuah pohon, dan itu adalah satu-satunya pohon yang ada di lapangan ini.
            “Wah dia naik ke atas pohon. Dan coba lihat, dia mengeluarkan buku. Waah sepertinya rumus jitunya adalah belajar di atas pohon. Yeah, akhirnya kita berhasil menemukan rahasianya !” kata Hasan kegirangan.
            “Sssttt... jangan keras-keras nanti kita bisa ketahuan. Yuk sekarang kita pulang aja. Masa kita mau nungguin dia sampai turun” bujukku pada Hasan.
            “Tapi soal masalah dia ?”
            “Kita bisa langsung membicarakan padanya besok di sekolah. Segera telfon kakakmu ya San. Biar kita bisa segera pulang. Aku merasa bersalah pada Bunda karena tak izin langsung”.
***
            “Ya. Kali ini Bunda maafkan. Tapi jangan diulangin lagi ya...”
            Akhirnya aku telah menceritakan misi tadi kepada Bunda dengan sebenar-benarnya. Saat aku tiba ke rumah tadi wajah Bunda agak cemas. Untung saja kakak Hasan sedikit memberi penjelasan juga sehingga wajah Bunda berangsur-angsur tidak  menjadi cemas lagi.
            “Lalu, gimana dengan ujianmu hari ini, Nif ?”
            Aku terhenyak sejenak. Hampir saja melupakan tentang ujian. Dan seketika hatiku dirudung kesedihan lagi.
            “Bahasa arab sih bisa Bunda. Tapi...”
            “IPA-nya ya ?” tanya Bunda. Aku hanya mengangguk perlahan.
            “Aku sudah berusaha Bunda. Tapi tetap aja nggak bisa”.
            “Yasudah nggak papa. Nanti kita belajar lagi sampai Hanif bisa ya ?” kata Bunda sambil tersenyum. Berbeda jauh dengan bayanganku reaksi Bunda sebelumnya. Beruntungnya aku punya keluarga ini. Aku jadi terigat kembali dengan Dastan. Apakah dia sekarang masih diatas pohon sambil belajar ya ?
***
            Hari ini aku dan Hasan memberitahukan misi kita kemarin kepada Pak Fahri, selain guru IPA juga wali  kelas. Ternyata guru-guru disini juga sudah tau tentang keluarga Dastan. Ini juga salah satu alasan mengapa Dastan tidak dikeluarkan dari sekolah. Mereka pun merahasiakan hal ini dari semua murid lain dan orangtua murid.
            Pak Fahri juga berkata bahwa para guru sudah sering menasihati Dastan akan kelakukan-kelakuan nakalnya yang keterlaluan, tapi tetap saja tidak mempan. Akhirnya, aku dan Hasan memiliki inisiatif untuk mencoba langsung membiarakannya pada Dastan, walaupun awalnya aku sedikit menolak (jujur, aku sedikit takut kalau melihat Dastan marah).
            “Kalian membuntutiku ?!” teriak Dastan.
            “Iya. Memangnya kenapa ? Kami ingin mengetahui rahasia cara belajarmu !” Hasan tak kalah berteriak. Aku hanya berdiri mematung di belakang Hasan.
            “Berarti kalian sudah tau dong yang sebenarnya ?!”
            Hasan tak menjawab. Aku pun juga tak berani menjawab.
            “Awas aja ya kalau kalian sampai memberitahukannya kepada teman-teman yang lain !”
            “Kami tidak peduli dengan keadaan rumahmu Dastan. Yang kami pedulikan hanyalah kelakuanmu di sekolah ini” kata Hasan tenang.
            “Iya Dastan. Kalau kamu punya masalah sebaiknya ceritakan saja pada teman-teman yang kau percayai, agar bebanmu terasa sedikit berkurang. Begitu sih kalau kata Bundaku” akhirnya aku ikut berbicara juga. Jujur, ini diluar kesadaranku. Duh, bisa-bisa aku kena marah Dastan juga.
            “Nggak usah ikut campur deh kamu Nif ! Si penakut yang bisanya bersembunyi di balik Hasan doang !”
            “Kamu jangan berbicara gitu pada temanku ! Kami ini berniat baik, ingin menolongmu. Tapi kamu malah begini. Sudahlah ayo Hanif ! Kita tinggalkan saja dia” kata Hasan seraya menarik tanganku. Aku hanya menunduk, aku tak suka dikatakan penakut yang selalu bersembunyi di balik Hasan. Aku pun mengambil keputusan untuk berbalik.
            “Asal kamu tau ya Tan. Kalau kamu begini terus, hidupmu nggak bakal berubah. Lihat ! Aku nggak penakut dan sekarang aku sudah berdiri beberapa inchi di depanmu. Justru kamulah yang penakut. Takut untuk berubah !” dan aku pun berbalik menyusul Hasan yang menungguku. Kulihat Hasan mengacungkan jempol kepadaku. Sepertinya Dastan hanya berdiri mematung di belakang sana, karena tak terdengar dia membalas ucapan kami. Biarlah.
***
            Akhirnya hari ini tiba juga. Hari yang ditunggu-tunggu oleh semua murid. Hari rapotan. Ketika hari rapotan tiba, itu pertanda bahwa libur panjang juga akan segera tiba. Dan siapa sih yang tak suka libur panjang ?
            Aku merasa senang juga, namun sekaligus cemas. Apakah aku akan menjadi juara 1 seperti harapanku ? Bunda yang mengambil rapotku, karena ayah masih lelah baru pulang dari luar kota. Sekarang Bunda masih mengikuti pengarahan sedikit dari kepala sekolah. Aku dan teman-temanku menunggu di luar ruangan. Mereka berbisik-bisik kira-kira siapa yang akan menjadi juara kelas di semester ini. Ini menjadi heboh dari semester-semester sebelumnya karena semester ini merupakan semester terkahir pengambilan rapot. Semester depan adalah kelulusan.
            Para orangtua keluar dari ruangan dan menuju ke kelas masing-masing. Semua murid-murid membuntut di belakang mereka menuju kelas masing-masing. Namun tetap saja murid-murid tak boleh ikut masuk ke dalam kelas, karena para wali kelas juga akan memberitahukan tentang kelakuan anaknya ke para orangtua masing-masing.
            Ketika Bunda keluar kelas dengan memegang buku rapot di tangannya, sepertinya wajahnya terlihat senang.
            “Bunda aku juara berapa ?”
            “Ini coba lihat sendiri di buku rapotmu” Bunda memberikan buku rapot padaku. Aku pun mencari halaman kelas 6 semester 1. Dan sedikit kecewa melihat angka juara yang tertera disitu. Angka 10.
            “Yaah... Cuma juara 10”.
            “Lebih baik kok daripada semester-semester kemarin yang biasanya Cuma masuk 20 besar. Sekarang kan sudah masuk 10 besar” kata Bunda meyakinkanku.
            “Tapi jauh dari juara 1 Bun”.
            “Nggak boleh gitu. Apapun hasilnya kita harus bersyukur. Bisa saja menurut Hanif ini bukan yang terbaik. Tapi di hadapan Allah ini yang terbaik”.
            “Hmm... iyadeh Bun. Hanif bersyukur. Alhamdulillah”
            Seketika itu, aku melihat Dastan berbicara dengan Pak Fahri. Sepertinya yang mengambil rapotnya adalah dia sendiri. Lalu dia salim kepada Pak Fahri dan keluar ruangan. Aku mengajak Bunda untuk menghampirinya.
            “Hai Dastan”. Dia tampak terkejut dengan sapaanku. Dia hendak memasang wajah kesal dan marah, namun seketika tidak jadi ketika melihat Bundaku ada di belakangku.
            “Kamu ya yang namanya Dastan ?”
            “Eh, iya Tante” seketika Dastan memasang wajah ramah dan salim kepada Bundaku.
            “Saya dengar dari guru-guru kalau kamu ini pintar. Dapat juara berapa ?”
            Dengan malu-malu Dastan menjawab, “ dua Tante”.
            “Waah, selamat ya. Sepertinya langganan jadi juara kelas ya. Kapan-kapan boleh ya ajarin Hanif gimana cara belajar yang baik biar bisa pintar seperti kamu, hmm... terutama di bagian pelajaran IPA”. Dastan hanya tersenyum. Dan sepertinya mencoba tersenyum. Aku menyenggol lengan Bunda. Masa aku belajar sama Dastan.
            Percakapan pun berlanjut. Bunda melihat-lihat isi rapot Dastan. Menanyakan hal ini dan hal itu. Aku hanya berdiam diri mendengarkan sampai percakapan mereka selesai. Aku dan Bunda pun pulang. Sebelum itu aku sempat menoleh ke arah Dastan. Ada yang menghampirinya, seorang wanita dewasa seumuran Bunda. Sepertinya ibunya. Kulihat Dastan pun terlihat senang dan memeluk wanita itu. Yah, memang sepertinya ibunya. Syukurlah, akhirnya ibunya datang. Aku pun beralih kepada Bunda.
            “Bun, makasih ya udah mengambil rapot Hanif”.
            “Sama-sama, Nak”.
***
            Dan di semester berikutnya, siapa yang menyangka bahwa Dastan akan berubah. Dia bukan lagi anak yang pemarah. Jahilnya berangsur-angsur berkurang (walaupun terkadang masih saja suka lempar-lemparan pesawat kertas bersama kawan-kawannya). Terkadang dia ikut nimbrung saat melihat aku dan Hasan mengobrol. Dia pun sudah tidak masalah jika tempat favoritnya di bis sekolah ditempati anak lain.
            Dia juga pernah bercerita kepada aku dan Hasan bahwa sekarang ibunya telah bercerai dengan ayahnya. Dan dia sekarang hanya tinggal berdua dengan ibunya. Menurutnya itu adalah hal yang lebih baik daripada sebelumnya. Aku dan Hasan tutut senang melihat Dastan kembali senang.
            Dan tentang masalahku dengan pelajaran IPA. Sekarang sepertinya aku mulai mampu mengingat nama-nama susah itu, karena tiap malam Belajar Bersama Bunda tetap berjalan. Kata Bunda, ketika aku terus berusaha tanpa putus asa, Allah pasti akan membantu dan mengabulkan doaku.
SELESAI
***

*NB : Ingat ! Hargai karya orang lain. Pembajakan karya adalah sesuatu hal yang tidak terpuji (y)


Komentar